Pada zaman dahulu kala ada
sebuah desa yang terpencil terletak di sebelah selatan gunung Lai Desa itu bernama Desa Pelem. Pada suatu ketika gunung Lai meletus, lahar dari letusan
gunung tersebut mengenai desa Pelem, sehinga seluruh warga berbondong-bondong
menyelamatkan diri kearah tenggara menuju sebuah hutan dimana hutan tersebut
tumbuh banyak sekali pohon kepoh ( sekarang menjadi Desa Kepohagung), dan ada
juga yang menyelamatkan diri kearah timur menuju hutan yang mayoritas tumbuh
pohon kesambi yang akhirnya meluas menjadi sebuah pemukiman sehingga oleh
penduduk setempat dinamakan dengan Desa Kesamben.
Pada zaman penguasan
kerajaan Mataram ada seorang tokoh ulama dari Desa Muntilan jawa tengah yang
menyebarkan agama Islam di Desa Kesamben yang bernama “ Begede Buyut Santri”. Perjuangan dan dakwah beliau tidaklah
sia-sia dikarenakan banyak penduduk yang mengikuti ajarannya yaitu memeluk
agama Islam. Makin lama Desa itu berkembang meluas,penduduk semakin banyak yang
kemudian menjadi desa yang sejahtera gemah ripah loh jinawi.
Oleh karena kuasa Tuhan
penduduk yang semula sejahtera lahir batin kemudian diserang wabah
penyakit/pagebluk dalam istilah jawa yang bernama “sogok petek silit Mancur (
yang sekarang dalam istilah kesehatan dinamakan muntaber) jika orang terkena
wabah tersebut badan terasa panas dan pada malam harinya meningal dunia.
Wabah tersebut semakin
meluas dan menyebar dengan cepat maka sebagai seorang yang menjadi panutan
penduduk desa Begede Buyut Santri
mengutus seorang pande besi bernama Cokriyo
untuk pergi ke Blitar guna mencari tumbal untuk mengatasi wabah tersebut.
Sepulang dari Blitar Cokriyo
membawa dua tumbal/pusaka, pusaka tersebut bernama Treppan dan Watusoko. Treppan
berasal dari dua kosa kata yaitu Trep
yang berarti mancep dalam istilah Indonesia tertanam, dan yang kedua berasal
dari kata Pan yang berarti mapan,
yang bertujuan siapapun yang menghuni wilayah Desa Kesamben akan hidup mapan sejahtera
lahir maupun batin. Sedangkan Watusoko juga berasal dari dua kosa kata watu dan
soko. Watu berarti batu dan soko berarti cagak/tiang dengan tujuan
agar banjir lahar tidak dapat masuk lagi ke Desa kesamben. Kedua pusaka Treppan
dan Watusoko ditanamlah di dua tempat yang berbeda satu di tengah-tengah
desa(Treppan) dan satu di pinggir desa ( Watusoko) dan wabah pun hilang.
Setelah bencana itu teratasi
keadaan penduduk kembali seperti semula sejahtera lahir dan bathin. Kemudian
Begede Buyut Santri di bantu santri-santrinya dan juga masyrakat berencana
untuk membangun sebuah masjid dengan mengumpulkan batu-batu putih. Akan tetapi
sebelum masjid itu selesai di bangun Begede Buyut Santri dipanggil oleh Allah
SWT. Bekas tempat yang semula direncanakan untuk mendirikan masjid dinamakan “semigit” padahal yang benar nama
tersebut adalah “mesijid” yang
lokasinya di timur desa Kesamben. Sedangkan makam beliau berada di pinggir desa
sebelah timur yang sering disebut oleh warga Kesamben dengan sebutan “ cungkup".
Itulah sekilas mengenai Sejarah Desa Kesamben Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban. Maaf jika ada penulisan yang salah atau kata-kata yang kurang berkenan, terima kasih dan semoga bermanfaat...
No comments:
Post a Comment